Benteng Vastenburg
Benteng yang sarat menyimpan peristiwa sejarah ini bernama Vastenburg, kini terus terbengkalai dan kian rusak di tengah tarik menarik kekuatan modal, ahli sejarah, komunitas budaya dan Pemkot Surakarta. Kini situs bersejarah yang hanya beberapa ratus meter dari Keraton Solo dan Balaikota ini, seolah berusaha disembunyikan dari pandangan warga kota. Bangunan intinya ditutup serapat mungkin dengan pagar seng.
Benteng Vastenburg di Kota Solo, Jawa Tengah, seharusnya menjadi bagian jati diri Kota Solo dengan melestarikannya. Banyak pelajaran historis di balik benteng peninggalan Belanda (1745) yang harusnya dapat menjadi pelajaran bagi generasi mendatang. Namun warisan ini diterlantarkan oleh Kota yang menjadi Tuan rumah World Heritage City (Konferensi Kota Budaya Internasional) akhir tahun lalu.
Benteng yang dulu megah di tengah Kota Bengawan ini, sekarang tinggal seonggok bangunan yang seolah berharga dan ditumbuhi rumput ilalang yang lebat. Beberapa peternak kambing menerobos pagar seng untuk menggembalakan kambing-kambingnya di pinggiran tembok benteng yang retak-retak dan bernuansa muram. Pada sepetak tanah di halaman depan benteng, berdiri megah sebuah gedung baru yang dijadikan kantor sebuah bank swasta.
Sementara di salah satu pojoknya, dijadikan lahan parkir bagi bus-bus wisata yang mengantar wisatawan ke Keraton Solo atau Pasar Klewer. Para wisatawan itu mungkin tidak pernah tahu, jika dibalik pagar seng pempat mereka parkir itu, terdapat sebuah situs warisan sejarah bangsa. Sebuah bangunan berstatus cagar budaya seluas 31.533 m2, yang seharusnya dilindungi UU No 5 Tahun 1992 tentang Perlindungan Cagar Budaya.
Bernilai Sejarah
Dalam konteks morfologi perkotaan, benteng ini memiliki peranan penting di Kota Solo dalam periode XVIII-XIX. Kota Solo adalah pusat perdagangan dan ditandai perkembangan kota kolonial. Dalam konteks era kolonial, artefak lain yang terkait dengan keberadaan Vastenburg ialah di antaranya Gereja St Antonius, bekas gedung Javasche Bank, kantor pos, rumah Residen, jalan raya poros lurus Solo-Semarang, permukiman Eropa, dan Societet Harmoni. Semua artefak era kolonial ini berada beberapa ratus meter di hadapan keraton Solo.
Sekitar tahun 1750-an ini merupakan tempat pasukan Belanda untuk "mengawasi" Keraton Kasunanan Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III. Tipologi kota kolonial identik ditengarai adanya sebuah benteng. Belanda merias kota sejak era Kerajaan Kartasura. Waktu itu, urusan di wilayah kekuasaan raja pribumi ikut menjadi perhatian Belanda, misalnya keamanan, perniagaan, permukiman, tata kota dan kebijakan (stelsel).
Memang benteng yang berlokasi di ujung Jalan Jenderal Sudirman Solo ini, menyimpan banyak sejarah. Benteng yang dibangun di jaman Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, awalnya benteng ini diberi nama Grootmoedigheid. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Sedangkan bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Di beberapa titik sekelilingnya ada pula bangunan rumah tinggal para perwira.
Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa, di dalam benteng ini tercatat banyak pejuang kita pernah dipenjara, disiksa, dan dibunuh di era kolonial Belanda. Hal mana berlanjut di jaman Jepang ketika benteng ini dikuasai Bala Tentara Dai Nipon.
Akan Dibangun Hotel Berlantai 13 dan Mal
Setelah Indonesia merdeka, Benteng ini pun "diwarisi" oleh unsur bangsa kita yang memegang senjata, yakni kaum militer. Di era kemerdekaan benteng ini pernah berfungsi sebagai asrama militer, sebagai kompleks militer atau asrama untuk Brigade Infantri 6, Trisakti Baladaya dan Kostrad.
Dari tangan militerlah, pada tahun 1991, areal situs bersejarah seluas hektar ini ditukargulingkan dengan pihak swasta. Kini wilayah situs sejarah ini telah dikapling- kapling di delapan instansi berbeda. Menurut data BPN sejumlah pihak swasta tercatat sebagai pemilik "sah" lahan di kawasan Vastenburg yaitu PT Benteng Gapuratama, PT Benteng Perkasa Utama, Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Bank Danamon dan sejumlah pemilik perseorangan. PT Benteng Gapuratama, perusahaan milik Robby Sumampauw tercatat memiliki sebagian besar lahan di dalam benteng, juga areal sisi timur dan utara di luar benteng seluas sekitar 3,5 hektare.
Kemudian polemik tentang Benteng Vastenburg memuncak sejak November 2008 ketika ”pemilik” benteng berencana mau membangun hotel bertingkat 13 dan mal di atas situs yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya ini. Pada tanggal 10 November 2008, puluhan budayawan Solo menggelar aksi untuk "merebut" cagar budaya ini dari tangan investor. Kaum Budayawan dan komunitas sejarah Kota Solo memang tidak pernah mengakui keabsahan penguasaan investor atas atas bangunan dan tanah benteng. Saat ini masih terjadi tarik-ulur menyikapi rencana pembangunan hotel tersebut. Pemerintah Daerah pun urung mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) karena tekanan masyarakat.
Bila kita menyimak nilai-nilai historis Benteng Vastenburg, sepertinya tak rela melihat benteng ini dihapus dari ingatan dan sejarah bangsa. Padahal beberapa benteng peninggalan kolonial Belanda (bahkan dari era yang lebih kuno) di kota lain sudah menjadi aset wisata dan museum.
Maka jika ingin mengunjungi Vastenburg, bergegaslah sebelum obyek bersejarah ini dimenangkan oleh kuasa pemodal, dan lantas hilang selamanya dari perbendaharaan sejarah bangsa.
0 comments: